Sabtu, 05 April 2014

Pengasuhan dan Pendidikan yang Semakin Impersonal

Stanley I. Greenspan, M.D. dan T. Berry Brazelton, M.D. dalam bukunya "The Irreducible Needs of Children" mengatakan keprihatinan mereka atas situasi zaman ini, di mana dunia berubah menjadi semakin impersonal, termasuk dalam hal pengasuhan dan pendidikan. 
Semakin impersonalnya dunia bisa dilihat dari relasi antar teman, antar anggota keluarga, yang mana mode komunikasinya telah berubah menjadi semakin impersonal, kehilangan sentuhan personal, bahkan saat-saat kebersamaan yang ada pun atmosfer nya impersonal. Interaksi satu sama lain semakin sedikit. 
Semakin impersonalnya pengasuhan dan pendidikan anak, bisa dilihat dari fenomena dalam keluarga di mana anak-anak kurang diayomi secara emosional dengan kehangatan.  Anak-anak diberi 'institutional love' (cinta 'buatan'), karena mereka diasuh oleh orang lain yang bukan orangtua, bahkan dititipkan di tempat penitipan anak. 
Perubahan dunia menjadi semakin impersonal, juga dapat dilihat dari pendekatan yang digunakan, yaitu semakin berorientasi pada teknologi, bersifat konkrit, dan materialistis. Contohnya, sistem kesehatan mental (psikiatri) semakin menekankan pada penggunaan obat daripada psikoterapi; penanganan gangguan perilaku anak (psikologi), dilakukan dengan penegakan disiplin menggunakan metode hadiah-hukuman, dan berfokus pada penegakan disiplin saja semata-mata; pendidikan lebih berorientasi pada penggunaan materi pelajaran. Pendekatan yg berbasis pada kasih sayang, semakin ditinggalkan. 
Pertanyaannya, mengapa dunia berubah dramatis menjadi semakin impersonal, semakin menepis sisi-sisi kemanusiaan? Mengapa kita berinteraksi dengan anak, dengan keluarga, dengan cara-cara yang semakin impersonal? 
Jawabnya adalah karena meskipun manusia punya dua sisi (yg bagaikan dua sisi kepingan koin) -  
  • competitive mastery, yaitu sisi kompetitif dengan sifat kemandirian, kemampuan diri.
  • nurturing care, yaitu sisi ketergantungan, dengan sifat lemah, rapuh, tidak berdaya, membutuhkan perhatian orang lain 
manusia tidak nyaman dengan sisi ketergantungan itu, dan lebih nyaman dengan sisi kompetitifnya. 

Manusia memandang bahwa untuk hidup, kemampuan berkompetisilah yang lebih penting, sehingga lebih fokus mengembangkan kemampuan diri sendiri untuk bertahan hidup dan berkompetisi. Sementara itu, karena merasa tidak nyaman dengan sisi nurturing care yang mengandung kelemahan dan ketergantungan, manusia pun jadi berusaha menolak sisi kelemahan dan ketergantungannya ini. Dan ini juga lah yang secara tidak langsung mengakibatkan orangtua fokus mengasah kemampuan anak untuk mandiri, berjuang sendiri, mengembangkan kemampuan diri, sementara sisi ketergantungan anak berusaha ditekan. 

Pertanyaan selanjutnya, mengapa ini baru terjadi sekarang? 
Di masa lalu, peran mengayomi, yang menerima sisi ketergantungan, kelemahan, terletak dan terealisir pada peran maternal (ibu). Sementara ayah menjalankan peran sisi kompetitifnya. Saat itu, ibu diharapkan tinggal di rumah bersama anak-anak dan menikmati kesenangan dari peran merawat, mengayomi, bukan menikmati kesenangan dari sebuah karir kompetitif. Sekarang, hal itu sudah berubah. Kesetaraan jender menyebabkan wanita juga mempunyai hak untuk menikmati kesenangan dari karir (mengambil sisi kompetitif). Sebenarnya, hal ini baik, karena dengan keadaan yang adil demikian, pria juga mengemban tugas mengasuh anak. Akan tetapi, masalahnya adalah untuk mencapai lagi keseimbangan antara sisi nurturing care dan sisi kompetitif (sebagaimana jaman dulu), praktek di lapangan nya sangatlah sulit. Belum ditemukan jalan untuk mengembalikan keseimbangan itu.