Jumat, 12 Juli 2013

Seorang Ibu Mengubah Dunia Lebih Baik

"Hanya seorang ibu," begitulah yang kita pikirkan mengenai diri kita, atau itulah jawaban yang kita berikan ketika orang bertanya apa pekerjaan kita. Di dalam masyarakat yang makin kurang menghargai peran ibu sebagai pengasuh dan pengayom anak, kita juga mulai berpikir bahwa diri kita ini bukanlah apa-apa, selain seorang ibu yang sehari-hari mengurus rumah tangga, menyediakan kebutuhan anak dan suami. Hidup melulu di rumah, rasanya kita tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada dunia. Saya mempunyai seorang teman, ia memilih untuk menekuni karirnya mendampingi anak-anak korban kekerasan dan perdagangan anak, tapi sementara itu, ia meninggalkan anaknya yang masih berusia 1 tahun dalam asuhan orang lain. Ia merasa hidupnya berguna bagi orang lain dengan pekerjaan itu, dan memandang bahwa mengesampingkan keluarganya sendiri merupakan harga yang harus dibayar demi sebuah pengorbanan bagi orang lain.
Haus untuk memberikan kebaikan bagi orang lain, seringkali juga kita rasakan, dan menjadi salah satu tantangan dalam menjalani peran ibu rumah tangga. Akan tetapi, sebenarnya, kalau kita merefleksi, bukankah apa yang sedang kita kerjakan saat ini, yaitu membesarkan anak-anak kita adalah bagian dari perjalanan panjang untuk mempengaruhi dunia? Ya, sesungguhnya dengan membesarkan anak-anak kita, mendidik mereka, kita sedang menyiapkan diri mereka agar kelak mereka menjadi salah satu orang baik yang mengisi dunia ini dan mengubah dunia ini menjadi lebih baik pula.
Brenda Hunter, Ph.D., dalam bukunya "The Power of Mother Love," membahas bahwa menjadi ibu rumah tangga, memiliki pengaruh luar biasa, bukan hanya terhadap hidup anak-anak kita, tapi sesungguhnya juga terhadap masyarakat, yang mana seringkali pengaruh ini memang tidak disadari. Selama dekade terakhir ini, dunia psikologi terus melakukan penelitian ilmiah dan ternyata mendapati bukti-bukti yang begitu banyak bahwa cinta seorang ibu mempunyai dampak begitu besar dan sifatnya permanen dalam membentuk karakter dan hidup anaknya. Kasih ibu mempengaruhi hidup anak, dan selanjutnya, mempengaruhi dunia.


Brenda Hunter menandaskan bahwa dengan memenuhi kebutuhan anak pada tahun-tahun pertama kehidupannya (kebutuhan fisik maupun psikologis), kita sedang membentuk anak kita menjadi seorang yang mampu berempati kepada sesamanya. Seorang anak yang tidak mengalami kasih sayang, tak akan mampu memperlakukan orang lain dengan kasih sayang pula. "Mother-child emotional bonding" (ikatan emosional ibu-anak) adalah ramuan ajaibnya. Jadi, seorang ibu tak hanya mempengaruhi hidup anaknya, ia mempengaruhi masyarakat, mempengaruhi dunia.

Rabu, 10 Juli 2013

Buku Teori Pro Peran Ibu Rumah Tangga II

Brenda Hunter, Ph.D, seorang psikolog dan penulis buku internasional, yang merupakan ahli dalam bidang infant attachment, menyerukan dukungannya kuat-kuat untuk para ibu yang berani memutuskan menjadi ibu rumah tangga full-time. Di tengah perdebatan antara ibu bekerja (yang merasa bahwa mereka lebih berguna untuk masyarakat jika mereka bekerja), dan ibu rumah tangga (yang memutuskan untuk tinggal di rumah karena mengikuti panggilan hatinya), Brenda Hunter menandaskan bahwa tak ada seorang pun yang bisa menggantikan pengayoman yang diberikan oleh ibu. Jika kita selama ini menggeluti peran ibu rumah tangga full-time karena intuisi kita bahwa peran ini adalah yang terbaik untuk anak, maka Brenda Hunter memberikan penguatan secara ilmiah berdasarkan hasil-hasil risetnya bahwa intuisi kita tersebut memang benar. Buku ini adalah buku yang dipersembahkan untuk kita, para ibu rumah tangga full-time :


"To mothers everywhere who have chosen, at no little personal sacrifice to be home with their children :
I applaud you for your courage in a culture that is hostile to your choice. 
I support you in your willingness to put your children's well-being ahead of any career advancement. 
And I uphold your conviction that you are the best person to raise your child. 
You are the unsung heroines of this century." (Brenda Hunter, Ph.D)

Terjemahan :
Untuk para ibu di mana pun, yang telah memilih mengorbankan kepentingan pribadinya (yang mana pengorbanan ini sama sekali tidak sedikit), semata-mata demi agar bisa mendampingi anak-anak mereka di rumah :
Saya memujimu atas keberanianmu berdiri dalam sebuah budaya yang memusuhi pilihanmu ini.
Saya mendukungmu dalam niatmu untuk meletakkan kesejahteraan anak di atas kepentingan karir.
Dan saya meneguhkan keyakinanmu bahwa kau adalah orang terbaik untuk membesarkan anakmu. Engkau adalah pahlawan wanita tanpa tanda jasa di abad ini. 

Minggu, 07 Juli 2013

Uang.. Hati-hatilah dengannya!!!

Seringkali yang ada di benak orang adalah bahwa yang memilih menjadi ibu rumah tangga adalah ibu yang suaminya punya penghasilan bagus yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga tiap bulannya. Uang "cukup," itu berarti berapa kah nominalnya? Dan kebutuhan itu apa saja kah? Kita, yang sudah menjalani peran ibu rumah tangga ini, hanya bisa tersenyum kecut kalau orang menganggap kita ini berkelimpahan sehingga tidak membutuhkan tambahan penghasilan. Kita berjuang tiap bulannya untuk mencukupkan kebutuhan keluarga dengan penghasilan suami, dan berbagai upaya penghematan kita lakukan. Kalau sebuah target finansial (jumlah uang, rumah, mobil, dsb) kita gunakan sebagai syarat untuk memutuskan menjadi ibu rumah tangga full-time, saya yakin, sampai kapan pun (selamanya) kita tak akan menjadi ibu rumah tangga full-time. Alasannya, kita manusia, cenderung terus menaikkan target finansial kita. Sudah punya segini, ingin segitu.
Ingatkah kita akan dongeng yang bercerita tentang seorang yang tamak, sehingga ketika mempunyai ayam yang bertelur emas, dia tidak henti-hentinya menginginkan telur emas itu, dan menginginkan banyak telurnya, sehingga akhirnya memotong ayam itu untuk mendapatkan telur-telur di dalam perutnya? Banyak sekali cerita semacam itu, yang intinya adalah bahwa manusia cenderung menjadi tamak justru ketika ia MEMPUNYAI. Sulit sekali menghentikan langkah jika uang sudah di depan mata.
Ternyata, ada sebuah penelitian yang membuktikan bahwa keinginan terkait uang, tidak bisa berjalan selaras dengan keinginan mengasuh anak. Nampaknya, dua tujuan ini memang bertentangan. Berikut ini adalah ringkasan dari penelitian tersebut.
Penelitian Kushlev, dkk. (2012) menunjukkan bahwa dengan mempunyai uang, orang akan semakin termotivasi untuk mengejar tujuan pribadinya dan menjaga kemandirian mereka dari orang lain, dan menjadi kurang termotivasi pada tujuan-tujuan yang berkaitan dengan orang lain (other-focused goal atau communal goal), termasuk mengasuh anak. Penelitian menemukan bahwa orangtua dengan penghasilan yang lebih besar justru kurang menghargai pengasuhan anak atau kurang menghargai tujuan mengasuh anak. Berdasarkan studi ini, diambil kesimpulan bahwa tujuan pribadi yang berkaitan dengan kesejahteraan finansial bisa membuat individu mengesampingkan (memandang rendah) tujuan mengasuh anak; bahwa uang berasosiasi dengan tujuan manusia untuk menjadi mandiri dan mengejar kesuksesan pribadi, dan sementara itu, bertentangan dengan tujuan memperhatikan/peduli terhadap orang lain. Oleh karena itu, berdasarkan hasil ini, disarankan bahwa untuk bisa menjalankan peran sebagai orangtua,  kedua pasangan perlu untuk mengubah tujuan hidup mereka, khususnya mereka yang sebelum menjadi orangtua terbiasa bekerja keras untuk meraih kesuksesan finansial, sebab, apabila mereka tidak berusaha mengesampingkan tujuan finansial, mereka akan mengalami kesulitan untuk merasakan makna dari mengasuh anak.

Kutipan asli dari artikel :

Past research shows that having money, or even just being reminded of money, motivates people to pursue personal goals and to maintain their independence from others—what researchers call agentic goals.2,3 Kushlev and colleagues4 hypothesized that the agentic goals associated with money might be incongruent with the more interdependent, other-focused goal—what researchers call a communal goal—of caring for children. Therefore, parents who focus on achieving financial security—and thus derive a sense of meaning and purpose in their lives through more individualistic goals—might have more difficulty achieving a sense of meaning and purpose from parenting.
The researchers found that parents with greater income and education derived less meaning and purpose from taking care of their kids. But, given the correlational nature of that study, it could just be that those who get less meaning from parenting are more likely to pursue higher paying jobs.
Overall, this work suggests that the individualistic goal associated with financial wealth may undermine the more relational goal of taking care of children; money is associated with goals such as being independent and pursuing personal success, which are somewhat incongruent with the goals of caring for others and fostering interdependent relationships. Importantly, the researchers note that they are not recommending that couples avoid pursuing wealth before having children, especially given previous research on the benefits of financial security for raising children. But, the research does suggest that the act of becoming parents may require couples to shift their goals in a major way, especially for those who have worked hard to achieve high levels of financial success prior to parenthood.

Sumber : http://www.psychologytoday.com/blog/dating-decisions/201306/mo-money-mo-problems?tr=HomeEssentials