Senin, 27 Agustus 2012

Aktualisasi Diri ... Bisa di mana-mana!

Sering disebut-sebut bahwa permasalahan psikologis yang dihadapi ibu rumah tangga timbul karena merasa kurang bisa mengaktualisasikan dirinya dengan peran ibu rumah tangga, dan sebaliknya, wanita karier merasa lebih bahagia karena mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya lewat pekerjaan mereka. Benarkah hal ini, atau apakah hal ini pantas untuk kita percayai, sehingga kemudian kita ikut-ikut merasa kurang bisa mengaktualisasikan diri kita di rumah?
Mengaktualisasikan diri berkaitan dengan mengaktualisasikan kemampuan. Mengaktualisasikan diri berarti menunjukkan diri kita, keberadaan kita, dengan kemampuan-kemampuan kita, melakukan hal-hal dalam upaya untuk menciptakan sosok terbaik yang kita inginkan. Aktualisasi diri memang merupakan kebutuhan manusia, dan sebenarnya merupakan kebutuhan pada tingkat paling tinggi (kebutuhan pada tingkat yang dasar adalah kebutuhan fisik, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, dan kebutuhan akan penghargaan). Tujuan aktualisasi diri sesungguhnya memang bukan untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain, melainkan lebih dari itu, untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Kita ingin menampilkan diri kita sebagaimana gambaran ideal yang kita tuntutkan pada diri kita sendiri, sehingga diri kita puas karenanya.
Sekarang, kita bisa bertanya kepada diri kita sendiri, apa yang ingin aku tampilkan pada sosok diriku, aku ingin menjadi orang yang seperti apa, dengan kemampuan seperti apa dan dengan nilai-nilai seperti apa. Jadi, apakah jawaban kita adalah seorang wanita yang cakap menangani urusan pekerjaan di kantor? Saya kira tentu tidak. Tidak sesederhana itu. Jawaban kita bisa sangat bermacam-macam, dan saya yakin lebih daripada sekedar wanita yang pandai urusan pekerjaan kantor.
Menjadi orang yang pandai dalam bidang kita, yaitu bidang pendidikan yang telah kita geluti, memang adalah salah satu keinginan kita. Tapi, sebagai insan manusia, kita ingin menjadi individu yang mempunyai kualitas-kualitas atau nilai-nilai lainnya. Menjadi istri yang baik, yang bisa mengayomi keluarga, atau ibu yang cakap mengurus dan mendidik anak, juga menjadi keinginan kita. Bermacam-macam gambaran wanita ideal lebih kita inginkan daripada sekedar gambaran wanita karier saja.
Jadi, apakah aktualisasi diri hanya bisa kita lakukan kalau kita bekerja di kantor? Kalau yang dimaksud adalah aktualisasi diri sebagai wanita karier karyawan kantor, memang iya, hanya bisa kita lakukan kalau kita bekerja di kantor. Tapi, kalau aktualisasi diri sebagai ibu dan istri yang penuh dedikasi terhadap keluarga, wanita yang penuh kasih sayang,  jelas tidak hanya di kantor tempatnya. Proses aktualisasi diri sebagai wanita yang cakap merapikan rumah, cakap memasak, cakap mendidik anak, cakap mengelola keuangan keluarga, justru bukan kantor tempatnya. Oleh karena itu, mulai saat ini, jangan biarkan diri kita ikut-ikut merasa tak berkesempatan mengaktualisasikan diri kita karena keberadaan kita melulu di rumah. Aktualisasikan diri kita, di mana saja kita berada. Inilah diri kita, dengan kemampuan kita, dan keluwesan kita. 

Senin, 20 Agustus 2012

Baca dan Tetap Semangat!

Anak mengukur kasih dengan WAKTU (Steve Chalke).

Your children need your presence more than your presents. (Jesse Jackson)

In bringing up children, spend on them half as much money and twice as much time. (Author Unknown)


You have a lifetime to work, but children are only young once. (Polish Proverb)


We have a few special years with our children, when they’re the ones that want us around. After that we’re going to be running after them for a bit of attention. It’s so fast, only few years. If we are not careful, we will miss it. (film Hook)

You can't pay someone to do for a child what a parent will do for free. Even excellent child care can never do what a good parent can do. (Urie Bronfenbrenner) 


Raising children has always been, and will continue to be, a full-time job. And no one can successfully perform two full-time jobs at the same time. (Suzanne Venker)

Others maintain that there is no difference between a child who is raised at home and a child who is raised in day care as long as Mom is a "sensitive, responsive, and caring parent" during the time she does spend with her children...  That's like saying there's no difference between an employee who comes to work every day and does the job and an employee who only shows up one day a week, but on that particular day is really nice. (Suzanne Venker)

Studi dan Komentar Ahli tentang Pengasuhan Nonparental

The consequences of frequent changes of caregivers have also been largely unappreciated. They include delinquency, school dropouts, depression, substance abuse, and difficulties with intimacy. These problems may not be obvious until many years have passed. Thus, parents do not see—or accept—the causal connection between changing caregivers during infancy and toddlerhood, and negative behavior years later. (Being There: The Benefits of a Stay-at-Home Parent by Isabelle Fox with Norman M. Losenz 1996, page 15)

Boys having more than 30 hours a week in nonmaternal childcare had a significantly increased risk of insecure attachment, regardless of the quality of the childcare or other factors.
In November 2008, the NICHD Study of Early Child Care and Youth Development released another report about the follow-up to age 15 years. This presented evidence that...“Higher hours of nonrelative care predicted greater risk-taking and impulsivity at age 15. (Mothering Denied - The sources of love, and how our culture harms infants, women, and society by Dr. Peter Cook, ©2009).


We often hear of “quality-time” versus “quantity-time” from daycare advocates. I do not believe there is much quality-time to be had after putting in an eight to ten hour day at the office or daycare. Parents are too tired and children are as well. Not only did the parents work all day, now they must complete all of the tasks that were not accomplished while at work. The children must go to the grocery store when they are exhausted and starved for attention. Upon arriving at home, parents have to worry about paying the bills, making dinner, doing the dishes, placing phone calls, making sure there are clean clothes for the following day, etc. (Doing Time: What It Really Means To Grow Up In Daycare by May Saubier, ©2012).



Dalam sebuah jajak pendapat yang diadakan Asda, dengan responden lebih dari 5.000 ibu yang berusia 20 - 70 tahun, kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa mereka cemas karena merasa gagal menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Mereka merasa gagal tidak bisa menjadi ibu yang sempurna (Natalia Ririh, "Ibu Bekerja Butuh Dukungan Suami," Jumat, 24 Agustus 2012 http://health.kompas.com/read/2012/08/24/06530769/Ibu.Bekerja.Butuh.Dukungan.Suami)



New findings from studies of the Early Child Care Research Network of the US National Institute of Child Health confirm the undesirable socio-emotional effects in children of non-maternal care, with poorer mother-child relationships and increased aggressiveness and disobedience at age six both at school and at home. http://ftmuk.wordpress.com/childcare-research/

A large scale synthesis from 88 studies concluded that regular non-parental care for more than 20hours a week had an unmistakably negative effect on socio-emotional development, behaviour and attachment of young children. (Violata, C. & Russell, C., ‘Effects of Non-maternal Care on Child Development: A Meta-analysis of Published Research.’ Paper presented at 55th annual convention of the Canadian Psychological Association, Penticton, British Columbia 1994)  http://ftmuk.wordpress.com/childcare-research/


Longer periods of fulltime employment by mothers when their children were aged 1-5 tended to: reduce the child’s chances of obtaining A-level qualifications, increase the child’s risk of unemployment and other economic activity in early adulthood, increase the child’s risk of experiencing psychological distress as a young adult. (Professor John Ermisch, Institute of Social and Economic Research, University of Essex. ‘The Effect of Parents’ Employment on outcomes for children’ (Joseph Rowntree Foundation http://www.jrf.org.uk) 2001)

Jumat, 10 Agustus 2012

Feel good about ourselves

Jengkel dengan image negatif ibu rumah tangga yang beredar di masyarakat kita? Mulai dari hobi ibu rumah tangga ngerumpi, suka mengenakan daster dan berpenampilan ngelomprot, hidup santai enak-enakan menikmati gaji suami tanpa bekerja keras, bodoh dan ketinggalan informasi, sampai cemoohan yang mengatakan bahwa wanita hanya jadi alat bagi pria, dalam bahasa Jawa terkenal istilah tugas wanita 3 M : manak (melahirkan), masak (memasak), macak (berdandan). Semua yang membuat panas telinga.
Kita kaum ibu rumah tangga, sering dipandang sebagai bagian kaum wanita yang gagal dalam perjuangan emansipasi. Tapi, tentu saja itu tidak benar. Kita, bukan menjalani ibu rumah tangga sebagai korban penindasan kaum laki-laki. Kita memilih peran ini, peran sebagai ibu rumah tangga fulltime tanpa paksaan. Kita, sengaja memilih peran ini atas naluri kita untuk merawat anak yang begitu kita cintai. Sama sekali bukan karena kita tak punya kesempatan untuk memilih.
Di zaman modern ini, bukankah bisa dikatakan, semua wanita tingkat pendidikannya sama persis dengan pria? Dengan demikian, kita mempunyai kesempatan berkarier sama persis dengan pria? Apakah ibu-ibu muda yang memilih menjadi ibu rumah tangga fulltime nilainya jelek terus selama sekolah, lulus pas-pas-an, atau mereka tak pernah diterima ketika melamar lowongan pekerjaan? Bukankah semua di antara kita, pernah merasakan dunia kerja, berkarier di sebuah lembaga, perusahaan, atau kantor? Jadi, kita sama sekali tidak bodoh.
Hidup enak bergantung pada gaji suami. Benarkah di rumah berarti kita enak-enakan saja layaknya sedang berlibur? Apakah kita tidur sepuasnya, atau dengan leluasa melakukan hobi kita? Sama sekali tidak. Meskipun di rumah, kita fokus untuk melayani anak kita, memenuhi kebutuhan mereka. Bergantung pada gaji suami, apakah itu keinginan kita? Sama sekali tidak. Kita terpaksa dalam beberapa waktu ke depan ini membiarkan diri kita bergantung pada suami. Seandainya bisa, tentu kita semua merasa lebih senang punya penghasilan sendiri. Bukankah itu juga menyangkut harga diri kita? Kita ingin bisa mandiri secara finansial, ingin mampu menafkahi ayah-ibu kandung kita, di samping juga ingin membeli barang-barang yang kita inginkan. Kita mempunyai keinginan untuk berkarier dan menunjukkan kepandaian kita, hanya saja untuk sementara ini, selagi anak kita sangat membutuhkan kehadiran kita, kita pendam dulu keinginan ini.
Berikutnya, soal penampilan yang kurang rapi. Bukankah aneh, kalau kita bermain bersama anak, menyuapi, memandikan, memasak, mengerjakan urusan rumah tangga dengan busana bepergian? Jadi, daster, atau babydoll adalah kostum kita di rumah, dan itupun, mungkin dengan sedikit noda akibat tumpahan susu anak kita, atau tak sengaja ditempeli tangan anak kita yang kotor sesudah makan kue coklat. Yah, inilah hidup kita. Kalau kita tak mau tangan dan baju kita terkena kotoran, tentu pilihan sebagai ibu rumah tangga fulltime sama sekali tidak tepat untuk kita. Oya, soal daster dan babydoll, kalau dipikir, bukankah semua wanita juga suka mengenakannya jika mereka dalam kondisi santai di rumah, termasuk juga para wanita karier?
Soal ngerumpi. Dari mana kita mendapat kesan itu? Saya yakin sebagian besar dari kita mendapat kesan itu karena melihat tetangga kita, waktu kita kecil dulu, ketika kita sedang bermain di rumah, kita melihat ibu-ibu bercakap-cakap dan memperbincangkan tetangganya yang lain. Zaman sekarang, apakah kita, ibu-ibu rumah tangga juga masih bisa sering bertemu dengan tetangga kita? Jadi, apakah kita juga ngerumpi? Tidak. Ibu-ibu lain, tetangga kita, mereka sudah pergi ke kantor pagi-pagi, dan pulang sore. Lagipula, banyaknya pekerjaan rumah tangga yang menanti, membuat kita takpunya banyak waktu untuk main ke rumah teman. Bercakap-cakap dengan teman, bukankah itu lebih banyak kita lakukan ketika kita masih di kantor dulu? Dengan kata lain, bukankah aktivitas ngerumpi, sebenarnya justru banyak terjadi di kantor ?
Yang terakhir, soal melahirkan, memasak, mengurus rumah tangga sebagai partner suami, bukankah itu tugas mulia? Semestinya itu tugas dan peran ibu ini tidak direndahkan, tidak dijadikan cemoohan untuk senjata mendorong wanita beremansipasi. Melahirkan dan merawat anak, adalah bagian takterpisahkan dari identitas kita sebagai wanita. Itu adalah bagian terbaik yang memang diciptakan Tuhan untuk wanita.



Kamis, 09 Agustus 2012

Let's enjoy it

Libur panjang di rumah .. bukankah baru sekarang ini kita punya, yang sepanjang ini? Kita bebas melakukan apa saja di rumah, tak ada tugas yang harus dikejar waktu penyelesaiannya, tak ada bos yang harus kita taati, tak ada jam kerja yang mengendalikan hidup kita. Memang tak disangkal, rasa bosan itu ada, karena kadang kita menghabiskan waktu untuk melakukan itu-itu saja. Tapi, kita harus menyadari bahwa dengan punya waktu banyak di rumah, banyak manfaat yang bisa kita ambil.
Kalau dipikir, bukankah dari sejak kita masuk Taman Kanak-kanak, kemudian SD, SMP, SMA, Universitas, dan bekerja, kita selalu hidup dalam lingkaran rutinitas, yang membuat kita tak punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang menarik minat kita? Sekarang, ketika kita menghabiskan banyak waktu di rumah, tanpa terikat oleh tugas dan benar-benar menjadi bos atas diri kita sendiri, sesungguhnya, kita punya kesempatan emas untuk mengeksplorasi bakat kita. Kita semua tahu, sekolah, tak pernah benar-benar mengeksplorasi bakat kita. Jadi, banyak sekali di antara kita yang bakatnya masih terpendam. Dengan punya banyak waktu di rumah, meski di sela-sela kesibukan kita mengurus rumah tangga, kita bisa coba lagi melakukan apa yang menarik minat kita.
Kalau kita melihat kisah-kisah orang yang sukses secara finansial, bukankah kebanyakan dari mereka adalah wiraswasta yang menggeluti usaha yang sungguh-sungguh merupakan minat mereka? Mereka bukanlah orang-orang kantoran dengan gaji tinggi. Mereka adalah orang-orang sederhana yang berani mulai pelan-pelan, mencoba mengasah keterampilan yang menjadi hobi mereka.
Menjadi ibu rumah tangga sesungguhnya tidak hanya memberikan kita waktu. Sering tidak kita sadari, bahwa penerimaan dan kasih sayang yang kita terima dari anak, mengubah pribadi kita menjadi orang yang lebih 'bebas.' Kalau kita coba introspeksi, bukankah dibanding beberapa tahun lalu, sekarang ini kita menjadi lebih nyaman dengan diri kita sendiri. Saat ini, kita menjadi kurang peduli lagi dengan apa yang dipikirkan orang lain, kurang peduli lagi pada penilaian orang lain terhadap kita. Bagi kita, dicintai tulus oleh anak telah mencukupkan segalanya. 'Kebebasan' inilah yang sebenarnya sangat memungkinkan kita untuk berkreasi tanpa batas. Bukankah kreativitas baru muncul secara luar biasa ketika orang merasa bebas?
Jadi, sekarang, daripada risau dengan kondisi kita yang hanya di rumah saja, atau khawatir bahwa libur panjang kita membuat orang lain menganggap kita malas, lebih baik kita manfaatkan waktu untuk mencoba-coba hal baru, menggali lagi minat dan mengasah keterampilan kita berdasarkan minat kita. Time to explore our talents.

Rabu, 08 Agustus 2012

Long Vacation


Menghabiskan sebagian besar waktu kita dengan berada di rumah, sering membuat kita merasa kurang aktivitas. Mungkin sebabnya adalah karena dulunya kita sibuk dengan banyak kegiatan, pernah bekerja di kantor, atau sering bepergian untuk banyak acara. Kini, ketika kita memutuskan untuk tinggal di rumah mengasuh anak, rasanya kita punya libur yang tak ada habisnya. Punya waktu untuk libur memang menyenangkan, tapi jadi tidak menyenangkan lagi kalau kita tahu bahwa kita akan ‘libur’ selamanya.
Biasanya, ketika menemani anak bermain, sering terlintas dalam pikiran kita bahwa kita ini sedang menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tidak begitu penting. Atau dalam hati kita berkata pada diri sendiri, “Kurang kerjaan.” Mari kita selidiki, apa sebabnya kita punya anggapan seperti itu.
Di lingkungan kita, kebanyakan orang seumuran kita, menghabiskan waktu dengan kegiatan di luar rumah. Tidak hanya pria, tapi ibu-ibu seperti kita pun, banyak yang bekerja di kantor, mereka pergi pagi-pagi, dan pulang sore atau bahkan malam hari. Dalam benak kita, masih segar sekali ingatan tentang lingkungan kerja tempat kita bekerja dulu, kesibukan apa yang terjadi di sana. Ini semua membuat kita beranggapan bahwa semua orang bekerja, kecuali kita. Kita tidak sadar, bahwa apa yang kita sebut bekerja, sebenarnya adalah berada di kantor, atau berada di luar rumah. Bekerja adalah mengenakan pakaian kantor, lalu tinggal di kantor, entah mengerjakan tugas atau sekedar bercakap-cakap dengan rekan kantor.
Berikutnya, yang kita anggap sebagai bekerja adalah menghasilkan uang. Uang, benda yang begitu menarik perhatian dan diinginkan semua orang. Kita tidak sadar, bahwa jauh dalam alam bawah sadar, kita dan juga semua orang, memfokuskan hidup kita dalam pencarian akan uang. Dengan demikian, aktivitas yang kita pandang penting adalah aktivitas yang menghasilkan uang, dan bekerja demi memperoleh uang menjadi kita nilai penting sekali dalam hidup. Sebaliknya, aktivitas apapun yang tidak menghasilkan uang, seberat apapun aktivitas itu, kita anggap bukan bekerja, dan bahkan kita anggap tidak penting.
Hmm, mari kita menertawakan diri sendiri. Bagaimana bisa, semua itu mengaburkan pandangan kita, dan membuat kita jadi tidak menyadari bahwa memberi makan anak, menidurkan, menjaga kebersihan tubuhnya, mengajaknya bermain dengan aman, membuat ia tumbuh gembira dan sehat, bukan pekerjaan penting?
Kita memang di rumah, hanya di rumah, tapi tak berarti kita tidak melakukan apa-apa. Pekerjaan kita selalu ada, bahkan tak kenal waktu. Justru kita lah yang tak punya libur, dan tak kenal upah lembur. Pekerjaan kita bernama "Dedikasi."