Kamis, 26 Juli 2012

Satu penghasilan, tak jadi masalah


Ketika menjalani peran ibu rumah tangga, tak disangkal, kita kadangkala merasa iri pada keluarga lain yang mempunyai pendapatan ganda karena sang istri juga berkarier. Banyak wanita memutuskan untuk berkarir juga karena alasan ini, yaitu agar keluarga mendapat lebih banyak penghasilan. Akan tetapi, kalau kita mau lebih seksama memperhatikan, keberadaan kita di rumah, justru bisa menghemat cukup banyak uang. Mungkin, kita tak perlu mengeluarkan uang untuk membiayai babysitter, tak perlu memasukkan anak ke sekolah pada usia terlalu dini (program pra-playgroup/toddler), tak perlu sering jajan atau beli masakan luar karena kita memasak, tak perlu sering membeli kosmetik, parfum yang mahal, dan busana kerja, juga tak perlu banyak menghabiskan pulsa untuk menanyakan keadaan anak, sebagaimana kalau kita adalah wanita yang bekerja di kantor.
Orang seringkali tak sadar, bahwa bekerja di kantor, akan menimbulkan biaya-biaya yang bisa mengurangi pendapatan bersih itu sendiri. Mereka hanya melihat sepintas besarnya pendapatan yang akan diperoleh keluarga dari total pendapatan suami dan istri, namun lupa memperhitungkan biaya lain-lain itu.
Di samping itu, orang seringkali menyesuaikan gaya hidupnya dengan pendapatannya. Jadi, kalau yang didapat banyak, yang dihabiskan juga akan banyak pula. Kalau kita mengamati, orang yang berpenghasilan besar, belum tentu menabung banyak juga. Penghasilan tidak berbanding lurus dengan jumlah uang yang ditabung. Alasannya, karena orang mudah sekali berperilaku konsumtif. Orang yang pendapatannya lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan pangan, akan menghabiskan uangnya untuk keperluan lain yang sebenarnya kurang penting, hanya demi memuaskan keinginan saja, misalnya bertamasya ke luar kota, atau bahkan ke luar negeri, makan-minum di kafe atau restoran bergengsi. Jadi, ujung-ujungnya, bagian pendapatan yang ditabung, mungkin malah tak beda jauh dengan jumlah yang kita tabung.
Hidup dalam keluarga dengan satu pendapatan, akan melatih kita, ibu rumah tangga, mengatur pengeluaran dengan lebih bijak. Mau tak mau, kita terpaksa berusaha hidup hemat. Akan tetapi, kalau kita pikir lebih jauh, bukankah ini sebenarnya latihan untuk menjadi kaya? Sikap hidup hemat, adalah salah satu jalan meraih kesuksesan finansial.
Sesungguhnya, bagi anak kita, ada dampak positifnya jika mereka sehari-hari melihat langsung bagaimana kita menggunakan uang dengan hati-hati, penuh pertimbangan. Mereka akan belajar mengelola uang dengan lebih baik pula. Anak-anak yang hidup dalam keadaan serba kecukupan, biasa dimanjakan dengan uang, dan segala keinginannya segera dipenuhi, cenderung tumbuh menjadi orang yang kurang punya daya juang.
Menyadari hal ini, tak lagi tepat kalau kita bertanya terus pada diri sendiri, “Berapa yang seharusnya bisa kuperoleh ya, kalau saja aku bekerja?” Daripada bertanya seperti itu, lebih baik kita bertanya, “Berapa uang keluarga yang bisa kuhemat ya, dengan aku memilih peran sebagai ibu rumah tangga fulltime ini?”

Daftar pengeluaran yang bisa dihemat :
Susu formula (karena kita beri ASI), biaya ke dokter (karena kita selalu menjaga kebersihannya dan memberinya makanan bergizi), popok sekali pakai (pampers), gaji babysitter, makan di resto, pulsa telepon, kosmetik, busana bepergian, biaya sekolah kelas pra-playgroup/toddler, biaya les baca-tulis-hitung. 

Selasa, 24 Juli 2012

"Meluangkan waktu secara berkualitas," hanya tinggal teori


Saya sangat tidak percaya bahwa jika kita sehari-hari berkarir di luar rumah, dalam keadaan pisah dengan anak selama berjam-jam, kita kemudian masih bisa meluangkan waktu secara berkualitas ketika pulang ke rumah. Satu alasannya adalah karena kedekatan emosional itu pasti akan terkikis, sekecil apapun terkikisnya. Maksud saya, ibu, sama halnya dengan anak, akan menjadi terbiasa dengan keadaan terpisah itu. Bukti dari ini adalah apa yang biasa saya lihat ketika berjalan-jalan di mal. Anak, yang biasa sehari-hari bersama pembantunya atau babysitternya, ketika di mal, juga digandeng atau digendong oleh babysitternya, meskipun saat itu mamanya juga bersamanya. Mamanya, lebih suka berjalan dulu di depan, karena merasa anaknya telah dijaga aman oleh babysitternya. Beberapa waktu yang lalu, ketika berbelanja di swalayan, saya bahkan melihat, dua orang anak perempuan, duduk di dalam keranjang belanjaan yang didorong oleh babysitternya, sementara mamanya, lebih suka mendorong keranjang berisi barang-barang belanjaannya. Tak ada kontak atau kebersamaan yang hangat antara kedua anak perempuan itu dengan mamanya. Menyedihkan sekali, kan? Bukankah sama sekali tidak masalah, kalau si babysitter lah yang disuruh mendorong keranjang berisi barang, agar mamanya bisa mendorong keranjang yang diduduki kedua anaknya itu?
Semua ini semakin membuat saya semakin jengkel kepada para psikolog yang selalu menggembar-gemborkan bahwa tak ada masalah jika ibu bekerja, berkarir. Semestinya, mereka berbicara lebih bijaksana, agar publik tidak salah menangkap pesan. 

It's all about child's self-concept, what matters most


Alasan utama mengapa kita pantas mempertahankan agar pengasuhan anak tetap di tangan kita adalah karena masa kecil anak merupakan masa pembentukan konsep dirinya. Menyerahkan pengasuhan anak ke tangan orang lain, berarti kita mempertaruhkan konsep diri anak tersebut.
Anak belajar menghargai dirinya sendiri dengan cara melihat bagaimana orang lain memperlakukan dirinya. Kalau ia merasa diterima, dihargai, menerima banyak ekspresi kasih sayang lewat pelukan, ciuman, senyuman, ia merasa dirinya berharga. Sebaliknya, kalau ia terlalu sering dimarahi, dikritik, diejek, dijelek-jelekkan, bahkan diperlakukan kasar, ia merasa bahwa dirinya tidak berharga.
Konsep diri yang terbentuk selama bertahun-tahun masa kecil anak, akan dibawanya ke masa remaja, hingga dewasa. Jika dalam diri anak telah terbentuk sebuah konsep diri yang positif, ia akan merasa nyaman dengan dirinya sendiri, bahagia menjadi dirinya sendiri, dan hal ini akan menuntunnya mengembangkan kepribadian yang menyenangkan, yaitu ceria, mampu bersikap hangat terhadap orang lain, mudah merasa bahagia, tidak mudah tersinggung, tidak mudah putus asa, dan masih banyak lagi. Sebaliknya, konsep diri negatif adalah sumber dari segala masalah. Orang yang mempunyai konsep diri negatif, tidak mempunyai rasa percaya pada dirinya sendiri, jauh di dalam hatinya ia tidak merasa berharga, sehingga mudah sekali tersinggung atas kata-kata orang lain. Ia juga cenderung bersikap negatif kepada orang lain, berprasangka buruk, memusuhi orang lain. Pembawaannya dari luar, bisa tampak sebagai seseorang yang pemalu, atau sebaliknya, suka sekali mencari perhatian orang lain dan agresif terhadap orang lain.
Seseorang yang mempunyai konsep diri positif, tidak selalu nampak sebagai orang yang percaya diri untuk tampil di depan orang banyak, berbicara di depan umum, seperti yang orang lain sering pahami sebagai arti sebuah kepercayaan diri. Kepercayaan dirinya adalah keyakinannya bahwa dirinya baik dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan tetap berharga tanpa peduli bagaimana sikap orang lain. Kepercayaan diri dari dalam ini akan membuat seseorang berpembawaan tenang dan stabil.
Ketika seorang anak diasuh oleh ibunya sendiri, pada umumnya anak akan sering dipeluk, dicium, diajak tersenyum, diajak bicara, meski juga tak disangkal, ada saat di mana sang ibu marah kepadanya. Kasih ibu yang teramat dalam kepada anaknya, secara tidak sadar akan mengalir lewat kata-kata dan tiap tindakannya terhadap anak, yang akan membuat anak merasa berharga. Akan tetapi, bagaimana jika sehari-hari anak lebih banyak bersama orang lain, pembantu, atau babysitter misalnya? Apakah pembantu akan berperilaku persis sama seperti ibu, suka mencium, mengajak tersenyum, berbicara dengan lembut? Saya rasa tidak. Saya sendiri, ketika berjalan-jalan dengan anak saya di sekitar rumah, pernah melihat bagaimana seorang pembantu berbicara kepada anak momongannya seperti ini, “Tuh, si A itu cakep, kan, nggak kayak kamu, jelek.” Waduh, waduh… seandainya saya adalah mama dari anak itu, saya tentu tidak akan rela anak saya dikata-katai “jelek” seperti itu. 
Jadi, satu hal yang sangat jelas menjadi sisi positif kita sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh anak kita dengan tangan kita sendiri adalah kita punya kesempatan emas untuk membentuk konsep diri yang positif pada diri anak kita, sebuah bekal yang akan dibawa anak kita selamanya untuk mengarungi kehidupan ini dengan bahagia. Sayang sekali, sampai saat ini saya belum mempunyai kesempatan untuk melakukan penelitian. Seandainya bisa dilakukan penelitian, saya yakin sekali, bahwa perbedaan antara anak-anak yang dibesarkan ibu seorang ibu rumah tangga dengan anak-anak yang dibesarkan ibu seorang wanita karier terletak pada konsep diri anak. 

Kamis, 19 Juli 2012

Oh, kenapa aku bukan Supermom?

Gambaran wanita karier : cekatan menyiapkan sarapan pagi untuk anak, pintar menangani urusan kerjaan di kantor, pulang dan menghabiskan waktu secara berkualitas dengan anak di malam hari. Supermom, oh, supermom!! 
Benarkah ada wanita yang Supermom seperti itu? Sayangnya, kenyataannya tidak. Kalau kita tidak bisa, wanita lain juga sama saja, tidak. Kita hanya manusia biasa, yang hanya punya tenaga terbatas, dan hanya bisa berada di satu tempat. Kita tidak bisa melakukan dua peran yang berbeda sama-sama sempurnanya. Suzanne Venker, dalam bukunya, menjelaskan bahwa wanita tidak bisa sukses di karier bersamaan persis dengan sukses sebagai ibu rumah tangga. Yang mungkin dilakukan adalah sukses di keduanya, tapi tidak dalam waktu yang sama. 

Kita, yang punya pengalaman bekerja di kantor, bisa membayangkan, apakah sepulang dari kantor, kita masih punya energi penuh untuk memandikan anak, menyuapi, kemudian bermain dan bercanda dengan ceria bersama mereka. Tentu tidak, bukan? Begitu pula teman-teman kita yang berkarir.
Kemudian, bayangkan, apakah kita bisa benar-benar memahami anak kita, kalau kita hanya berada di rumah   bersama mereka waktu sore hingga malam? Sebuah penelitian besar-besaran yang diadakan oleh NICHD Early Child Care Research Network yang melibatkan 1300 bayi dan keluarganya, menemukan bahwa ibu yang merawat anak mereka secara penuh di rumah menunjukkan perilaku yang sedikit lebih sensitif atau responsif terhadap kebutuhan anak dibandingkan dengan ibu dari anak yang mendapat pengasuhan nonparental (Adapun sensitivitas dan responsivitas ibu terhadap kebutuhan anak ini merupakan variabel yang berkaitan dengan pembentukan rasa aman (secure attachment) yang sangat penting untuk perkembangan sosial anak di masa selanjutnya). Sumber: Bee and Boyd, 2007, h. 395-396.
Saya sendiri mengamati, tetangga-tetangga saya, yang sehari-hari bekerja di kantor, karena terbiasa meninggalkan anak, ketika mereka tidak bekerja dan punya kesempatan untuk bersama anak pun, juga jadi tidak benar-benar menggunakan kesempatan itu untuk bersama anak. Dengan kata lain, kondisi terbiasanya mereka tidak bersama anak, menyebabkan mereka lebih mudah, lebih bersedia meninggalkan anak, sekalipun untuk kepentingan lain yang tidak mendesak. 

Di samping itu, ibu-ibu yang memilih untuk berkarier di kantor, banyak dari mereka yang mengatakan bahwa sesungguhnya mereka tidak benar-benar bisa berkonsentrasi di kantor karena memikirkan anak mereka di rumah, terutama ketika anak mereka sedang sakit.  

Kita, yang sengaja memilih untuk berperan sebagai ibu rumah tangga fulltime, bisa disebut bijaksana, karena kita paham akan kekuatan kita sendiri. Ada pepatah yang mengatakan bahwa orang yang bijaksana adalah orang yang paham akan kekuatan dirinya. Kita menyadari bahwa kita memiliki energi yang terbatas, sehingga tidak mampu melakukan 2 peran sekaligus, bekerja full di kantor dan kemudian di rumah masih mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Kita juga bisa mengira-ngira bahwa diri kita tak mampu menjadi ibu yang maksimal yang mengenal anak kita dengan baik seandainya  diri kita melakukan peran ganda ini. 

Jadi, jangan lagi ada di benak kita gambaran Supermom. Supermom hanyalah tokoh khayalan dalam imajinasi. Yang ada di dunia ini adalah ibu-ibu yang tidak sempurna, yang tenaganya terbatas, dan bisa lelah. Kita hanya bisa menjadi ahli di satu bidang, yaitu bidang yang mana kita kehendaki untuk fokus di dalamnya, bidang yang kita curahkan perhatian dan tenaga kita untuknya. Pikirkan saja betapa kita sekarang menjadi semakin hebat dalam mengurus anak kita.  

"Sia-sia saja studiku" ?

Tidak ingin menyia-nyiakan pendidikan dan gelar yang telah diraih adalah salah satu alasan paling umum mengapa wanita memilih meninggalkan anak untuk berkarir di kantor. Saya sendiri tak menyangkal bahwa saya juga kadang risau kalau-kalau orang memandang aneh diri saya dan berkata demikian, "Sudah sekolah tinggi-tinggi, kok sekarang hanya di rumah?"
Apa yang sering terlontar dari mulut orang, "hanya ibu rumah tangga," "hanya di rumah", "hanya momong anak," ... tidakkah Anda sadar, kata "hanya" itu benar-benar menyebalkan, bukan? Sekali lagi, kita berhadapan dengan masyarakat yang teracuni konsep feminisme salah.
Sekarang, coba kita berpikir, kalau kita terpelajar, mempunyai pendidikan yang tinggi, bukankah kita adalah orang yang lebih tepat untuk mendidik anak kita? Mengapa kita rela menyerahkan anak kita untuk dididik pembantu yang tidak jelas pendidikannya? Apakah kalau kita mempunyai gelar, hidup kita jadi terlalu berharga untuk diberikan kepada anak kita?
Saya memilih menjadi ibu rumah tangga untuk bisa mengasuh anak saya karena saya yakin bahwa ilmu Magister Psikologi saya membuat saya punya kesempatan untuk memberikan pengasuhan yang terbaik. Dan ternyata, tidak hanya saya yang berpendidikan S2 memilih untuk jadi ibu rumah tangga fulltime. Di Amerika, cukup banyak wanita dengan gelar pendidikan yang lebih tinggi, doktor, yang memilih menunda karier mereka demi mengasuh anak dengan tangan mereka sendiri.

Sebuah Keanehan

Berdasarkan pengalaman pribadi, hasil mengamati, dan juga hasil wawancara dengan beberapa teman, saya mendapati bahwa wanita yang mempunyai ibu kandung seorang ibu rumah tangga, didorong oleh ibu mereka untuk terus berkarier. Sedangkan beberapa teman wanita saya yang ibu kandungnya adalah wanita karier yang bekerja di kantor, justru memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mengurus anak. Aneh, bukan? Ibu saya sendiri, juga sering mewanti-wanti saya dengan pesan antara lain seperti berikut, bahwa wanita harus pandai mencari uang sendiri, tidak bergantung pada suami, suami nanti bisa capek dan bosan kalau istrinya tidak menghasilkan uang, keluarga suamimu bakal merendahkan kamu kalau kamu hanya bergantung pada suami. Pertanyaannya, mengapa para ibu rumah tangga, yang sudah menjalani peran ini bertahun-tahun, justru tidak mendukung anak mereka untuk mengambil peran ibu rumah tangga, dan justru terkesan menakut-nakuti dengan membeberkan tantangan dan kesulitan-kesulitan ibu rumah tangga? Saya kemudian berpikir, ini semua disebabkan karena mereka merasa tidak puas dengan perannya sebagai ibu rumah tangga, dan selalu melihat bahwa ibu-ibu yang berkarier, mempunyai situasi yang lebih baik daripada mereka.    Mereka sering lupa menyadari, betapa usaha keras mereka membesarkan, mengasuh, mendidik kita, dengan cara selalu hadir di sisi kita, telah membuahkan hasil yang luar biasa besar. (Saya selalu sadar, bahwa saya tak mungkin jadi seperti ini, seorang yang berkepribadian baik (hehe), jika ibu saya tidak menjalani peran ibu rumah tangga secara fulltime). Para ibu rumah tangga, sering gagal menyadari betapa berharganya peran yang mereka jalani selama ini. Mereka tidak sadar bahwa diri mereka telah teracuni oleh cara pandang umum di masyarakat yang berusaha menciptakan kesan wanita karier sebagai wanita high class yang lebih keren. Memang wajar jika mereka, para ibu kita yang belum pernah merasakan pengalaman bekerja di kantor, merasa lebih rendah dibandingkan teman-temannya yang bekerja di kantor, karena mereka berpikir pekerjaan kantor lebih sulit (padahal, kenyataannya sama sekali tidak, kan?). Faktor lain yang saya duga membuat mereka tidak puas terhadap peran ibu rumah tangga adalah karena sebagian dari mereka mengalami kekecewaan terhadap suami mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa penyebab suami mereka berperilaku mengecewakan adalah karena mereka, istrinya, tidak mempunyai penghasilan apa-apa dan hanya bergantung pada suami sehingga membuat suami bosan. Sebuah cara pandang yang subjektif, karena kita tahu, bahwa entah istri bekerja atau di rumah mengurus anak, sebenarnya tidak akan menentukan baik-buruknya perilaku suami, bahwa suami bisa saja bosan juga kalau istrinya bekerja, sama saja bisa selingkuh entah istrinya bekerja atau di rumah. Di atas semua itu, yang membuat ibu kita tidak ingin kita mengikuti jejaknya adalah keyakinan mereka bahwa hidup kita lebih mudah jika berkarier. Bukankah ibu selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya? Ibu kita tidak ingin kita hidup menderita, merasakan susahnya perjuangan seorang ibu rumah tangga. Dia ingin kita memilih jalan yang lebih enak, lebih mudah, namun sayangnya, lupa memperhitungkan apa yang mungkin terjadi 15 tahun kemudian pada cucu mereka jika kita meninggalkan rumah untuk bekerja di kantor.
Akhirnya, keputusan harus kita ambil sendiri. Boleh-boleh saja orang lain memberikan masukan, akan tetapi, lakukan apa yang kita yakini sebagai hal yang lebih baik.

Jadi, apa buktinya?

Selagi jumlah penelitian di Indonesia tentang dampak ibu bekerja pada anak masih sedikit, kita sendiri perlu berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat ahli yang bilang bahwa ibu bekerja tak membawa efek negatif untuk anak.
Secara sederhana, kita bisa bertanya demikian, "Mengapa kita cenderung lebih sayang kepada ibu daripada ayah? Bukankah ayah juga sayang pada kita, dia mencari uang untuk hidup kita?" Saya kira, jawaban dari pertanyaan itu adalah karena ibu lah yang lebih banyak bersama kita. Ayah lebih jarang kita temui, karena kesehariannya, dia ada di tempat kerjanya. Hal serupa dikatakan Steve Chalke, dalam bukunya "Orangtua Karier", yang diterbitkan oleh Andi. Dia mengatakan bahwa "Anak mengukur kasih dengan waktu." Jadi, anak merasa bahwa cinta kita terhadap dia besar atau kecil itu tergantung dari jumlah waktu yang kita berikan untuk bersama dengannya. 

Ada satu teman saya, juga memilih untuk jadi ibu rumah tangga agar bisa mengasuh sendiri anaknya, menceritakan alasannya mengapa ia memilih peran ini. Dengan jujur ia bilang bahwa tidak ingin seperti mamanya, yang karena adalah wanita karier, kalah dekat dengan anaknya dibanding pembantunya. Pengalaman pribadinya, waktu kecil, ia tak peduli kalau mamanya pergi. Tapi, kalau pembantunya pulang kampung, ia menangis.

Memang aneh, beberapa teman saya yang memilih peran ibu rumah tangga ini justru merupakan anak dari wanita karier. Setidaknya, sampai saat ini, ada 4 orang teman saya yang secara sukarela memilih tinggal di rumah mengurus anak, berasal dari keluarga dengan ibu berkarier di kantor.

Baru saja saya juga menanyakan kepada teman saya yang mengajar di sebuah SMA. Dia sudah mengajar selama 5 tahun. Saya minta dia menceritakan pengamatannya, ada/tidak perbedaan kepribadian antara murid yang ibunya mengasuh di rumah dengan yang ibunya berkarier di kantor. Saya sengaja bertanya kepada dia karena dia adalah guru muda, putri, yang belum menikah, jadi saya kira dia tidak akan bias dalam menilai (dibanding dengan guru yang sudah menjadi ibu). Ternyata, dia berkata memang ada perbedaannya, terutama pada anak-anak yang sangat dia kenal, yaitu murid lesnya. Anak yang ibunya di rumah, lebih terurus. Mereka bersikap lebih hangat secara interpersonal, tidak cuek, dan tidak jadi trouble maker di kelas. Sementara anak-anak yang ibunya tidak hadir secara intens di rumah, kurang terpelihara. Mereka menjadi kurang peduli dengan lingkungan, di kelas menjadi trouble maker. Selain itu, karena cenderung hanya dimanjakan dengan uang, mereka juga kurang mempunyai daya juang. Teman saya menambahkan, memang ada perkecualian. Ada muridnya yang ibunya bekerja, tapi tetap baik, sebabnya adalah karena dia diasuh oleh sanak keluarganya (nenek) yang mengasuh dengan baik dan bisa bersikap tegas terhadapnya, sehingga anak tersebut menemukan sosok pengganti ibunya.

Saya sendiri, tidak mentah-mentah percaya kepada ahli-ahli yang berkata dengan gampang bahwa ibu bekerja di kantor pun tak membawa dampak negatif pada anak. Bukankah mereka yang bilang adalah psikolog atau dokter yang juga adalah wanita karier? Tidakkah karir mereka, sama halnya dengan keyakinan pribadi mereka, sangat mungkin membuat mereka bias dalam menilai? Jadi, percayalah pada apa yang kita yakini, bahwa kita hanya bisa memberikan yang terbaik kepada anak hanya dengan berada di samping mereka sebanyak waktu yang kita miliki.



Jumat, 13 Juli 2012

Buku Teori Pro Peran Ibu Rumah Tangga


Buku ini adalah buku yang mengupas tentang mitos-mitos ibu bekerja. Pengarang buku ini, Suzanne Venker, adalah seorang yang mendukung ibu-ibu untuk mengambil peran ibu rumah tangga secara full-time, menomorsatukan anak daripada karier. Sangat disayangkan, hingga saat ini, buku ini belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Padahal, menurut saya, di Indonesia, isu ibu bekerja vs ibu rumah tangga sangat perlu dperdebatkan secara terbuka, yaitu dengan cara adil membahas teori-teori yang saling bertentangan itu melalui media massa. Bukankah yang ada di Indonesia saat ini hanyalah teori-teori dan pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada masalah dan risiko bagi anak kalau ibu bekerja? (Saking inginnya saya mendapat buku ini, saya titip pada tetangga saya yang tinggal di Texas, dan akhirnya, buku ini sampai ke tangan saya).

Krisis Identitas?

Salah satu yang disebut-sebut menjadi sumber stres ibu rumah tangga adalah krisis identitas yang dialami karena tidak lagi menyandang predikat, status, jabatan, atau pangkat seperti ketika masih berkarir di dunia kerja. Sebenarnya, hal ini tergantung bagaimana kita memandang peran ibu rumah tangga sendiri. Ibu rumah tangga bukanlah ibu yang tidak bekerja. Kita semua paham benar, bahwa di rumah, banyak sekali pekerjaan. Mengasuh anak, mulai dari menyuapi, memandikan, membantu anak buang air di toilet, menemani anak bermain, semuanya adalah pekerjaan. Pekerjaan ibu rumah tangga adalah pekerjaan full-time, dan memang harus dipandang demikian. Kita yang sehari-hari mengerjakan peran ini, memahami bahwa hanya ada dua jalan, mengambil tugas ini sepenuhnya, atau melimpahkan tugas ini pada orang lain. Kita mengerti benar bahwa tak bisa tugas ini dirangkap untuk dilakukan bersama dengan tugas kantor. Jika kita memilih untuk bekerja di kantor, berarti tugas ini kita limpahkan kepada orang lain.
Tugas mengasuh anak adalah tugas paling mulia dan luhur yang bisa dikerjakan oleh wanita. Sesungguhnya, secara tidak sadar, ketika kita mengasuh anak, kita sedang memenuhkan identitas kita sebagai seorang wanita. Seorang wanita punya naluri alamiah untuk merawat, menyayangi anaknya. Oleh karena itu, sekarang, singkirkan rasa "kehilangan identitas" itu dari pikiran kita. Pikirkan saja, betapa ibu-ibu yang adalah wanita karier merasa iri ketika melihat kebersamaan kita yang hangat dengan anak kita, ketika kita bisa bercanda lepas dengan anak kita. Dan eits, jangan-jangan, mereka justru terkikis identitasnya sebagai ibu?

Kamis, 12 Juli 2012

Penelitian Psikologi : "Tak ada dampak negatif pada anak jika ibu bekerja"?


Mungkin Anda pernah mendengar bahwa penelitian Psikologi tentang ibu bekerja mendapati hasil bahwa tidak ada dampak negatif pada anak. Tentu saja ini membuat kita bertanya-tanya, kalau begitu, untuk apa kita repot-repot berkomitmen untuk mengasuh anak sendiri di rumah. 
Sesungguhnya, hingga saat ini, penelitian Psikologi mendapatkan hasil yang berbeda-beda, bahkan hasil penelitian saling berlawanan. Tidak mudah meneliti efek bekerjanya ibu hanya dengan cara membandingkan antara anak-anak yang tidak diasuh oleh ibunya karena ibu bekerja di luar rumah dengan anak-anak yang diasuh langsung oleh ibu di rumah, mengingat begitu banyak variabel yang turut mempengaruhi dan sulit untuk dikontrol. Dengan kata lain, bekerja atau tidak bekerjanya ibu (keberadaan ibu di rumah), tidak secara langsung memberikan dampak kepada anak (perkembangan kognitif, emosional, sosial, kepribadian anak), sebab banyak hal lain yang turut mempengaruhi. Variabel-variabel yang turut berpengaruh tersebut antara lain :
·    Bentuk pengasuhan/perawatan nonparental yang diterima anak (diasuh kerabat di rumah, diasuh babysitter di rumah, dititipkan di rumah orang lain, dititipkan di tempat penitipan anak, dan sebagainya)
·         Kualitas pengasuhan/perawatan nonparental
·         Lamanya waktu anak diasuh oleh orang lain
·         Situasi lingkungan tempat anak diasuh
·         Stimulasi kognitif yang diberikan kepada anak
·         Teknik pendisiplinan yang diterima anak
·         Kepribadian/temperamen ibu
·         Tingkat sensitivitas dan responsivitas ibu terhadap anak
·         Kualitas interaksi ibu dengan anak
·         Tingkat depresi ibu
·         Sikap ibu terhadap pekerjaan
·         Sikap ibu terhadap pengasuhan anak
·         Persepsi ibu terhadap kepribadian anak
·         Kepribadian/temperamen anak
(Sumber : Bee dan Boyd, 2007, h. 392-398)

Mengingat hal tersebut, tidaklah tepat kalau kita langsung menyimpulkan bahwa bekerjanya ibu di luar rumah tidak mengakibatkan dampak negatif pada anak. 
Peganglah keyakinan, bahwa jika kita mengasuh anak seoptimal mungkin, pengasuhan kita pasti lebih bagus dampaknya pada anak daripada pengasuhan yang bisa diberikan babysitter, atau tempat penitipan anak. Kita mempunyai kesempatan untuk memberikan pengasuhan terbaik. Bukankah tak ada orang yang lebih menyayangi anak kita daripada kita sendiri, ibunya?

Sumber pustaka :
Bee, H., Boyd, D., 2007. The Developing Child, eleventh edition. Boston : Allyn and Bacon. 

Sisi Positif Ibu di Rumah


Anda, sebagai ibu rumah tangga, sedang menjalankan suatu tugas mulia, bahkan merupakan tugas paling berharga yang bisa dilakukan oleh seorang wanita, yaitu mengasuh anak. Yakinlah bahwa pengorbanan Anda tidak sia-sia. Berikut ini adalah beberapa manfaat positif yang bisa Anda petik dengan menjalankan peran ibu rumah tangga :

+         Keluarga merasa tenang
Oleh karena pengasuhan dipegang oleh ibu, bukan oleh pihak luar, ibu maupun ayah merasa lebih tenang karena tidak perlu mengkhawatirkan bagaimana keadaan anak. Dengan selalu bersama anak, ibu bisa memperhatikan, melindungi dan mencukupi kebutuhan anak.

+         Pendidikan anak dikendalikan oleh orangtua
Oleh karena ibu memegang peran utama dalam mengasuh anak di rumah, tidak ada masalah yang ditimbulkan karena perbedaan cara/pola asuh. Ibu dapat membuat peraturan untuk anak dan menegakkan peraturan tersebut tanpa ada gangguan atau intervensi dari pihak lain. Akibatnya, anak lebih mudah diarahkan. Di samping itu, jika ibu mempunyai pengetahuan yang baik tentang pengasuhan atau cara mendidik anak, perkembangan anak pun akan lebih optimal.

+         Ibu lebih percaya diri dalam mendidik
Dengan menghabiskan banyak waktu bersama anak di rumah, ibu merasa yakin bahwa dirinya memahami anak dan perilakunya. Ini memberikan efek membuat ibu merasa lebih percaya diri dalam mendidik dan mengarahkan perilaku anak. Selain itu, jika anak menunjukkan kelekatan dengan ibu, ibu merasa yakin dirinya dicintai, akibatnya, ia menjadi tidak ragu-ragu dalam memberikan peraturan atau menetapkan batasan. Ia yakin bahwa anak mengerti sungguh bahwa ibunya mencintainya sekalipun suatu ketika ibu menghukumnya.

+         Anak lebih kooperatif
Dengan kebersamaan yang lebih banyak dengan ibunya, anak mengalami relasi yang menyenangkan dengan ibu dan ia merasa disayangi oleh ibunya, sehingga ia pun akan menyukai dan menyayangi ibunya. Rasa sayang terhadap ibu ini membuat anak lebih kooperatif atau mau bekerja sama dengan ibu, dalam arti, ketika ibu meminta anak melakukan suatu hal, anak lebih bersedia untuk memenuhi permintaan tersebut, atau saat ibu memberikan peraturan, anak lebih mudah menerima peraturan tersebut.

+         Anak mengembangkan konsep diri yang baik
Jika ibu banyak mengekspresikan kasih sayang kepada anak, peka terhadap perasaan anak, dan responsif dalam memenuhi kebutuhan anak, serta terus mengadakan interaksi yang berkualitas dengan anak, anak tidak hanya akan merasa gembira, namun juga akan merasa lebih dicintai, dan akibatnya, anak pun merasa dirinya berharga. Perasaan berharga ini menjadi landasan dari konsep diri yang positif. Tak terhitung manfaat yang diperoleh apabila seseorang mempunyai konsep diri yang positif. Anak yang mempunyai cara pandang positif terhadap dirinya tidak hanya akan menjadi lebih percaya diri dalam sosialisasi, melainkan juga lebih bahagia dalam menjalani hidup.   

+         Ibu puas menyaksikan perkembangan anak
Dengan merawat dan membesarkan anak sendiri, ibu mempunyai kesempatan untuk menyaksikan perkembangan anak. Usia 0-2 tahun merupakan saat di mana perkembangan anak sedang pesat-pesatnya. Jika pada saat ini ibu selalu bersama anak, ibu akan mengalami betapa mengagumkan sekaligus menggemaskan melihat anak yang semula tidak bisa melakukan apa-apa menjadi semakin pintar.


Benarkah Pilihanku?

Kita yang telah memilih peran ibu rumah tangga seringkali dalam hati bertanya-tanya, apakah pilihanku ini memang mempunyai efek positif di kemudian hari, atau akan jadi sia-sia saja. "Untuk apa aku bersusah payah menjalani peran ini kalau ternyata efeknya untuk anakku akan jadi sama saja dibandingkan jika aku berkarier di luar rumah? Di luar sana, hampir semua ibu bekerja di kantor. Zaman modern sekarang ini, tuntutan ekonomi tinggi, masakan aku hanya di rumah, tidak menghasilkan uang? Apakah orang lain menilai aku sebagai wanita yang malas karena aku memilih untuk di rumah saja?" Itu semua adalah pertanyaan yang terlintas di kepala kita, mungkin sesekali saja, tapi bisa juga setiap hari.
Menurut penelitian, ibu yang di rumah mengalami stress lebih besar daripada yang bekerja di kantor. Apakah ada sesuatu yang salah? Jawabannya adalah ya. Kita tidak sadar, bahwa di sekitar kita, media komunikasi sehari-hari membombardir kita dengan pengeksposan peran ibu bekerja. Mulai dari artikel majalah, koran yang membahas soal bagaimana menyeimbangkan antara karier dengan tugas mengasuh anak, sampai iklan televisi yang menampilkan sosok ibu kantoran. Semuanya itu membuat wanita secara tidak sadar memandang bahwa berkarier, bekerja di kantor, lebih keren dibandingkan mengerjakan tugas mengasuh anak di rumah. Hal inilah yang sebenarnya menjadi sumber utama ketidakpuasan kita dalam menjalani peran ibu rumah tangga. Kita merasa diri kita lebih rendah dibandingkan ibu yang bekerja di kantor.
Di Amerika, sekarang ini, cukup banyak orang yang tampil mengusung kembali kemuliaan peran ibu rumah tangga. Mereka ini prihatin dengan pandangan para wanita yang teracuni konsep feminisme yang salah, yang  mendorong ibu-ibu untuk bekerja meninggalkan urusan rumah tangga, dan yang menanamkan persepsi bahwa peran ibu rumah tangga adalah peran tradisional yang tidak bergengsi. Di tengah isu yang mendukung ibu bekerja, mereka mengetengahkan fakta permasalahan seputar dampak negatif pada anak.
Saya pribadi berharap, di Indonesia, sebentar lagi, akan muncul kubu yang berani mempertahankan konsep bahwa peran ibu rumah tangga adalah peran yang penting. Saya berharap teori-teori Psikologi yang memperjelas peran penting pengasuhan ibu terhadap perkembangan anak muncul di buku, majalah, dan koran, dan muncullah perdebatan secara terbuka mengenai konflik antara dua kubu ini, antara pihak yang memandang pentingnya peran ibu rumah tangga dengan pihak yang memandang pentingnya peran ibu memilih karier di kantor. Dengan demikian, menjadi adil, dan para wanita secara terbuka melihat isu perdebatan ini lebih jelas, tidak hanya mereka melihat dari satu sisi saja, dari pandangan kaum yang memandang bahwa karier adalah hal yang baik untuk ibu.